Hampir sebagian besar di antara kita pernah mendatangi praktik Jero
balian atau dukun, baik untuk tujuan penyembuhan suatu penyakit,
menanyakan sesuatu yang niskala, mencari perlindungan diri, penangkal
agar tidak terserang orang secara gaib, bahkan untuk mendapatkan
penglaris. Apapun tujuan kita mendatangi jero balian, dan apa pun
kemampuan jero balian, tampaknya tidak mudah bagi kita untuk menghindari
kepercayaan dunia niskala, yang kita terjemahkan secara sederhana dan
sempit, yakni dunia mistik dan gaib.
Dalam kepercayaan permanen itu, suatu penyakit atau musibah selalu
dikaitkan dengan gejala ketidak-harmonisan hubungan kita dengan sesama
dan alam gaib yang menyebabkan timbulnya suatu penyakit dan musibah,
karena itu kita memerlukan bantuan pihak lain, yang dianggap memahami
dan dapat mengendalikan kekuatan gaib yang mengganggu kesehatan dan
ketentraman hidup kita. Kekuatan gaib itu menyebabkan penyakit dan
mendatangkan musibah.
Dalam kehidupan sehari-hari pun kita tidak dapat menggunakan nalar
secara penuh, walaupun tingkat pendidikan masyarakat umumnya telah
mencapai tingkat yang dapat dianggap telah menjauhi dunia gaib dan
mistik dalam artinya yang negatif itu, lalu seharusnya menggunakan nalar
atau akal sehat dalam mengambil suatu keputusan atau tindakan. Dalam
mendampingi anggota keluarga yang sakit juga tidak mudah berpikir dan
bertindak secara nalar dalam memperoleh solusi yang tepat agar si sakit
dapat disembuhkan secara medis, karena memang seharusnya demikian
tindakan orang modern. Akan tetapi, sekalipun anggota keluarga kita
terkena kanker stadium empat dan para dokter ahli telah menyatakan
sangat kecil kemungkinannya sembuh, harapan masih ditumpukkan kepada
sang balian.
Bahkan, sejak gejala-gejala kanker itu muncul kita memilih dan ketetapan
hati untuk membawa si sakti ke balian, tidak ke dokter ahli atau rumah
sakit. Meskipun diagnosis secara medis menyatakan gejala-gejala demikian
mengarah ke kanker, masih saja kita beranggapan bahwa penyakit yang
dasyat itu merupakan hasil pekerjaan seseorang yang tidak menyukai
keluarga kita. Biasanya, yang dituduh melakukan serangan gaib itu adalah
keluarga dekat sesumbahan (keluarga satu kawitan atau satu leluhur),
bukan orang lain. Akibatnya, keluarga yang anggotanya menderita penyakit
parah itu, mengalami penderitaan yang berlipat ganda, menderita karena
harus mengurus keluarga yang sakit dan tidak ada tanda-tanda akan
sembuh, juga menderita, sakit hati, bahkan dendam karena harus
bermusuhan dengan keluarga sesumbahan atau satu leluhur.
Sumber yang menyediakan sarana untuk menyakiti orang lain itu, adalah
balian ngiwa. Dikatakan ngiwa karena balian itu bertindak sebagai ahli
yang mampu mengobati penyakit niskala semacam itu, namun juga membantu
dan menyediakan sarana bagi orang yang ingin menyakiti saudara atau
orang lain, yang tidak disukainya. Dengan kata lain, balian itu
dipradugai menempuh jalur kanan, tetapi juga menempuh jalur kiri (kiwa =
kiri, hitam; jahat), yang memang terlanjur dipisahkan secara dikotomis.
Pertanyaan kemudian muncul benarkah ada balian yang ngiwa seperti itu?
Sebagai orang memahami dunia gaib, demikian pula tingkah polah balian
ngiwa yang tidak mudah dimengerti secara nalar untuk kemudian ditarik
sebuah kesimpulan untuk membenarkan atau menganggap praktik-praktik
semacam itu tidak ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar